Mengenai Saya

Karawang, Jawa Barat, Indonesia
Muda, Progresif, visioner, . .

2 April 2011

KARENA CINTA

Kerana cinta duri menjadi mawar
kerana cinta cuka menjelma anggur segar
Kerana cinta keuntungan menjadi mahkota penawar
Kerana cinta kemalangan menjelma keberuntungan
Kerana cinta rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar
Kerana cinta tompokan debu kelihatan seperti taman
Kerana cinta api yang berkobar-kobar
jadi cahaya yang menyenangkan
Kerana cinta syaitan berubah menjadi bidadari
Kerana cinta batu yang keras
menjadi lembut bagaikan mentega
Kerana cinta duka menjadi riang gembira
Kerana cinta hantu berubah menjadi malaikat
Kerana cinta singa tak menakutkan seperti tikus
Kerana cinta sakit jadi sihat
Kerana cinta amarah berubah
menjadi keramah-ramahan

16 Maret 2011

Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Karawang

















Kemiskinan Itu Tidak Manusiawi

Hampir dapat dikatakan bahwa industrialisasi membawa kepada kemakmuran. Atau, dengan sedikit pengecualian, kemakmuran dapat dicapai melalui industrialisasi. 

Setiap kenaikan kemampuan material suatu masyarakat adalah bernilai positif, termasuk dari segi peningkatan harkat kemanusiaan masyarakat itu, baik perseorangan maupun kelompok. Sebab harkat atau martabat kemanusiaan adalah pusat kebahagiaannya. Dia akan ditemukan hanya dalam keadaan dapat dengan bebas mengembangkan dirinya. Menurut Goethe, “manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya sendiri tetapi seluruh kemanusiaan—dengan segala potensinya—sekalipun dia dapat mewujudkan potensi-potensi itu hanya dengan cara yang terbatas disebabkan pembatasan-pembatasan dari luar terhadap eksistensi pribadinya.”

Salah satu di antara pembatasan-pembatasan itu, yang terpenting karena yang terkuat, ialah kemiskinan. Dari segi ini, karena industrialisasi membawa kemakmuran, maka ia juga berarti peningkatan kemanusiaan, sehingga membawa humanisasi. Agaknya itulah sebabnya mengapa Lenin, dalam satu slogannya, mengatakan bahwa sosialisme adalah elektrivikasi menyeluruh.
Dan sosialisme adalah suatu cita-cita mewujudkan kemanusiaan secara lebih sadar.

Tetapi agaknya memang tidak ada hasil yang bisa dicapai tanpa harga atau pengorbanan. Kemakmuran yang dibawa oleh industrialisasi ternyata meminta korban-korban yang tidak kecil. Dalam tahapnya yang berkelanjutan, pengorbanan yang dituntut itu justru adalah ke-manusiaan itu sendiri.
Sekarang ini, setelah menyaksikan pengalaman-pengalaman negara industri maju, para peninjau dapat mengatakan bahwa pembatasannya Goethe dalam pengembangan kemanusiaan itu justru datang dari industrialisasi yang membawa kemakmuran material tersebut.

Salah satu nilai formal masyarakat industrial ialah birokrasi, yang di dalamnya tersimpul nilai-nilai lain seperti kerutinan, kepastian dan instrumentalisme. Mekanisme itu membuat seseorang berada dalam posisi tanpa pilihan, sehingga menjadi fatal. Hal itu berarti bahwa seseorang telah kehilangan dirinya sendiri. Ia hanya merupakan suatu fungsi dari suatu keseluruhan permesinan, yang apabila berdiri sendiri atau sendirian, maka tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ia digunakan atau dibuang semata-mata berdasarkan fungsi yang mungkin dilakukan; dengan perkataan lain, nilai instrumentalistisnya. Sedangkan kemanusia-annya yang intrinsik seringkali tidak menjadi hitungan.

Di sinilah mulai timbul masalah makna hidup. “Hidup ini untuk apa?” adalah pertanyaan yang tidak menentramkan, justru bagi mereka yang makmur secara material di negara industri yang mengakibatkan dehumanisasi seperti di atas. Kita harus ingat bahwa selama kekuatan-kekuatan produktif belum berkembang—selama masyarakat masih dalam kemiskinan—maka keharusan untuk bekerja dan mempertahankan hidup itu saja sudah cukup memberi makna hidup bagi seseorang. Memang, menemukan makna hidup adalah suatu keharusan kemanusiaan. Tetapi jika penemuan itu hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan hidup itu sendiri maka malah menjadi tidak sempurna, kalau bukan penipuan psikologis. Karena itu, meskipun kemiskinan membuat orang tidak perlu mempertanyakan apa makna hidup ini karena ia menemukannya dalam berjuang untuk hidup itu sendiri, namun hal itu bukanlah suatu keadaan yang humanistis. Kemiskinan tetap nonhumanistis, tidak manusiawi.

Oleh: Nurcholis Madjid (Cak Nur)

12 Januari 2011

Revitalisasi ideologi kaum intelektual di era post modernisme


Era post modernisme melahirkan peradapan-peradapan yang dahsyat bagi masyarakat terkait dengan trifungsi mahasiswa sebagai Agen Of Change, Agen of Analisis, Agen Of Control, mahasiswa di tuntut untuk mempunyai ideologi ideal yang mampu menjawab segala tantangan kehidup di era post modernisme seperti saat ini. Yaitu ideologi yang bersifat alightment (pencerahan), namun terkadang post modernisme mendapat makna yang sensitive di kalangan muda, sehingga dengan sendirinya mereka melupakan fungsi sebagai mahasiswa bahkan mengubur dalam-dalam ideologinya yang seharusnya di-abadikan untuk kepentingan masyarakat akan tetapi di-abadikan untuk kepentingan –kepentingan  yang lebih pragmatisme.
Melihat fenumena di atas makin nampak bahwa semangat dan timbulnya ideologi dalam diri mahasiswa terlukis oleh hegemoni zaman yang tak kenal kompromi yang indikasi hedonisme, dan pragmatisme. Di-era ini(post modernisme) eksistensi mahasiswa yang memiliki manifestasi intelektual dan moral yang lebih mengabdi pada kepentingan umum sehingga mampu untuk mewujudkan sebuah konstruksi pemikiran yang ideal.
Mahasiswa yang kita kenal dengan mempunyia idealitas untuk kepentingan yang bersifat umum(masyarakat), kini telah berubah haluan menjadi  momok masyarakat, karna mahasiswa bisa membuat masyarakat ketakutan dengan gebrakan dan isu-isu yang telah di rancang dan didesain dengan intelektul yang di milikinya, sehingga mampu merubah cara pikir dan prilaku masyarakat secara umum, untuk ikut bersaing dengan masa yang penuh dengan kepentingan yang bersifat induvidual. Mahasiswa sudah sangat melenceng jauh dari Tri Fungsinya.